Selasa, 25 Maret 2014

Hubungan Antara Jiwa dan Badan

                Kehendak bebas merupakan kemampuan yang memampukan manusia untuk memutuskan dengan bebas.
5.            Karena Aquinas mengambil pandangan Aristoteles yang menekankan kerapatan hubungan antara jiwa dan badan, sebab jiwa adalah forum dari badanm timbul pesoalan: bagaimana mungkin jiwa yang begitu erat dipersatukan dengan badan bisa bertahan setelah terpisah dari badan dalam kematian?
                Aquinas tidak menyangkal, tetapi malahan menegaskan bahwa jiwa adalah forma dari badan, dan jiwa selalu mempunyai kecenderungan untuk menjiwai badan, sebab pada hakekatnya jiwa merupakan forma dari badan. Namun, forma ini adalah jiwa rasinal dan kemampuan-kemampuannya tidaklah seluruhnya dihabiskan untuk menjiwai badan.  Jiwa binatang tergantung pada badannya untuk semua kegiatannya dan hancur ketika tubuhnya hancur. Tetapi jiwa rasional manusia merupakan forma yang berdikari (subsistent) dan tidak dapat disentuh oleh kehancuran badan, karena jiwa rasional tidak seluruhnya tergantung pada badan untuk kegiatan-kegiatannya.
                Jiwa manusia, menurut Aquinas, pastilah bersifat rohani dan merupakan forma berdikari, sebab jiwa rasional ini mempunyai kemampuan untuk mengetahui kodrat dari semua badan. Seandainya jiwa itu bersifat materiil, ia akan disetel untuk mengetahui objek tertentu, sebagaimana organ penglihatan disetel untuk menangkap warna. Seandainya jiwa tergantung secara intrinsik kepada organ badani, ia akan terbatas untuk mengetahui suatu jenis tertentu dari objek badani. Seandainya jiwa itu sendiri adalah badan, dan bersifat materiil, ia tidak akan merefleksikan dirinya. Maka, jiwa manusia, yang adalah jiwa rasional, pastilah immateriil, yaitu spiritual atau rohani, sehingga jiwa ini tidak dapat hancur dan harus bersifat baka.
                Untuk mendukung pembuktiannya mengenai kebakaan jiwa, Aquinas juga bertolak dari keinginan untuk bertahan di dalam pengada. Ada keinginan natural bagi kebakaan dan keinginan natural, karena ditanamkan oleh Allah, tidak dapat sia-sia.
                “Tidak mungkinlah bagi suatu keinginan/kecenderungan kodrati sia-sia. Padahal manusia mempunyai keinginan kodrati untuk bertahan untuk selamanya dalam adanya. Hal ini jelas dari kenyataan bahwa eksistensi (esse) diinginkan oleh semua benda, tetapi manusia mempunyai pengertian intelektual mengenai esse sendiri, dan tidak hanya esse di sini dan sekarang sebagaimana dimiliki binatang. Maka manusia mencapai kebakaan bagi jiwanya, jiwa yang memampukannya untuk mengerti esse sendiri dan tanpa batasan waktu”
                Manusia berbeda dari binatang irrasional, dapat memahami eksistensi selamanya, terlepas dari saat sekarang, dan terdapat suatu keinginan kodrati bagi kebakaan yang sesuai dengan pemahaman tersebut. Karena keinginan ini tidak dapat sia-sia.
6.            Kalau Aquinas membuktikan kebakaan jiwa, ia tentu saja memaksudkan kebakaan personal/pribadi. Melawan Averroism, Aquinas berpendapat bahwa intelek bukanlah suatu substansi yang bebeda dari jiwa manusia dan bersifat umum bagi semua orang, tetapi jumlah intelek ini sebanyak jumlah badan. Tidak mungkin untuk menjelaskan keragaman ide dan kegiatan mental di dalam manusia yang berbeda kalau semua orang mempunyai satu intelek yang sama. Tidak hanya perasaan dan imajinasi seseorang yang berbeda dari orang lain, tetapi juga kehidupan dan kegiatan intelektual mereka. Tidak mungkin untuk berpendapat bahwa semua orang mempunyai satu intelek, sebagaimana juga tidak mungkin untuk berpendapat bahwa semua orang mempunyai penglihatan yang satu dan sama.
                Aquinas juga menolak pendapat Avicenna bahwa semua orang mempunyai satu intelek pasif. Satu prinsip tidak dapat menjadi forma dari bermacam-macam substansi. Seandainya intelek pasif merupakan satu prinsip terpisah, maka ia akan abadi. Akibatnya intelek ini harus memuat semua species intelligibiles yang pernah diterimanya, dan setiap orang akan mampu mengerti semua hal yang pernah dimengerti manusia. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Seandainya intelek aktif terpisah dan abadi, ia akan berfungsi sejak abadi dan intelek pasif, yang juga diandaikan terpisah dan abadi, akan menerima sejak abadi. Tetapi seandainya demikian maka indera dan imajinasi menjadi tidak perlu bagi kegiatan intelektual. Padahal kenyatan menunjukkan bahwa indera dan imajinasi itu mutlak perlu.   

Komentar :
Dari teks tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa , jiwa manusia dan jiwa binatang berbeda. Jiwa binatang tergantung pada badannya untuk semua kegiatannya dan hancur ketika tubuhnya hancur. Tetapi jiwa rasional manusia merupakan forma yang berdikari (subsistent) dan tidak dapat disentuh oleh kehancuran badan, karena jiwa rasional tidak seluruhnya tergantung pada badan untuk kegiatan-kegiatannya. Jiwa manusia adalah jiwa rasional, dan immateriil, yaitu spiritual atau rohani, sehingga jiwa ini tidak dapat hancur dan bersifat baka.

1 komentar:

  1. Halo widy,wah postingannya sangat memberikan informasi yang sangat berguna nih. Nilainya 85 deh hehehe

    BalasHapus