Kehendak bebas
merupakan kemampuan yang memampukan manusia untuk memutuskan dengan bebas.
5. Karena Aquinas
mengambil pandangan Aristoteles yang menekankan kerapatan hubungan antara jiwa
dan badan, sebab jiwa adalah forum dari badanm timbul pesoalan: bagaimana
mungkin jiwa yang begitu erat dipersatukan dengan badan bisa bertahan setelah
terpisah dari badan dalam kematian?
Aquinas tidak
menyangkal, tetapi malahan menegaskan bahwa jiwa adalah forma dari badan, dan
jiwa selalu mempunyai kecenderungan untuk menjiwai badan, sebab pada hakekatnya
jiwa merupakan forma dari badan. Namun, forma ini adalah jiwa rasinal dan
kemampuan-kemampuannya tidaklah seluruhnya dihabiskan untuk menjiwai
badan. Jiwa binatang tergantung pada
badannya untuk semua kegiatannya dan hancur ketika tubuhnya hancur. Tetapi jiwa
rasional manusia merupakan forma yang berdikari (subsistent) dan tidak dapat
disentuh oleh kehancuran badan, karena jiwa rasional tidak seluruhnya
tergantung pada badan untuk kegiatan-kegiatannya.
Jiwa manusia,
menurut Aquinas, pastilah bersifat rohani dan merupakan forma berdikari, sebab
jiwa rasional ini mempunyai kemampuan untuk mengetahui kodrat dari semua badan.
Seandainya jiwa itu bersifat materiil, ia akan disetel untuk mengetahui objek
tertentu, sebagaimana organ penglihatan disetel untuk menangkap warna.
Seandainya jiwa tergantung secara intrinsik kepada organ badani, ia akan
terbatas untuk mengetahui suatu jenis tertentu dari objek badani. Seandainya
jiwa itu sendiri adalah badan, dan bersifat materiil, ia tidak akan
merefleksikan dirinya. Maka, jiwa manusia, yang adalah jiwa rasional, pastilah
immateriil, yaitu spiritual atau rohani, sehingga jiwa ini tidak dapat hancur
dan harus bersifat baka.
Untuk mendukung
pembuktiannya mengenai kebakaan jiwa, Aquinas juga bertolak dari keinginan
untuk bertahan di dalam pengada. Ada keinginan natural bagi kebakaan dan
keinginan natural, karena ditanamkan oleh Allah, tidak dapat sia-sia.
“Tidak mungkinlah
bagi suatu keinginan/kecenderungan kodrati sia-sia. Padahal manusia mempunyai
keinginan kodrati untuk bertahan untuk selamanya dalam adanya. Hal ini jelas
dari kenyataan bahwa eksistensi (esse) diinginkan oleh semua benda, tetapi
manusia mempunyai pengertian intelektual mengenai esse sendiri, dan tidak hanya
esse di sini dan sekarang sebagaimana dimiliki binatang. Maka manusia mencapai
kebakaan bagi jiwanya, jiwa yang memampukannya untuk mengerti esse sendiri dan
tanpa batasan waktu”
Manusia berbeda
dari binatang irrasional, dapat memahami eksistensi selamanya, terlepas dari
saat sekarang, dan terdapat suatu keinginan kodrati bagi kebakaan yang sesuai
dengan pemahaman tersebut. Karena keinginan ini tidak dapat sia-sia.
6. Kalau Aquinas
membuktikan kebakaan jiwa, ia tentu saja memaksudkan kebakaan personal/pribadi.
Melawan Averroism, Aquinas berpendapat bahwa intelek bukanlah suatu substansi
yang bebeda dari jiwa manusia dan bersifat umum bagi semua orang, tetapi jumlah
intelek ini sebanyak jumlah badan. Tidak mungkin untuk menjelaskan keragaman
ide dan kegiatan mental di dalam manusia yang berbeda kalau semua orang
mempunyai satu intelek yang sama. Tidak hanya perasaan dan imajinasi seseorang
yang berbeda dari orang lain, tetapi juga kehidupan dan kegiatan intelektual
mereka. Tidak mungkin untuk berpendapat bahwa semua orang mempunyai satu
intelek, sebagaimana juga tidak mungkin untuk berpendapat bahwa semua orang
mempunyai penglihatan yang satu dan sama.
Aquinas juga
menolak pendapat Avicenna bahwa semua orang mempunyai satu intelek pasif. Satu
prinsip tidak dapat menjadi forma dari bermacam-macam substansi. Seandainya
intelek pasif merupakan satu prinsip terpisah, maka ia akan abadi. Akibatnya
intelek ini harus memuat semua species intelligibiles yang pernah diterimanya,
dan setiap orang akan mampu mengerti semua hal yang pernah dimengerti manusia.
Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Seandainya intelek aktif terpisah dan
abadi, ia akan berfungsi sejak abadi dan intelek pasif, yang juga diandaikan
terpisah dan abadi, akan menerima sejak abadi. Tetapi seandainya demikian maka
indera dan imajinasi menjadi tidak perlu bagi kegiatan intelektual. Padahal
kenyatan menunjukkan bahwa indera dan imajinasi itu mutlak perlu.
Komentar :
Dari teks tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa , jiwa manusia dan
jiwa binatang berbeda. Jiwa binatang tergantung pada badannya untuk semua
kegiatannya dan hancur ketika tubuhnya hancur. Tetapi jiwa rasional manusia
merupakan forma yang berdikari (subsistent) dan tidak dapat disentuh oleh
kehancuran badan, karena jiwa rasional tidak seluruhnya tergantung pada badan
untuk kegiatan-kegiatannya. Jiwa manusia adalah jiwa rasional, dan immateriil,
yaitu spiritual atau rohani, sehingga jiwa ini tidak dapat hancur dan bersifat
baka.
Halo widy,wah postingannya sangat memberikan informasi yang sangat berguna nih. Nilainya 85 deh hehehe
BalasHapus